Wednesday, June 22, 2011

Cinta Liar di Awal Tiga Puluh

Tuntutannya semakin tidak karuan. Ia minta aku main oral.
Bahkan, yang lebih parah, ia selalu saja memaksa main AC-DC (depan-belakang).

Panggil saja aku dengan Yati. Aku belum genap 35 tahun. Perjalanan rumah tanggaku dengan suamiku, Raditya, memang penuh onak dan duri, bahkan kini sampai membuahkan rasa perih. Aku merasa tidak hanya di ujung tanduk, tetapi sudah diseruduk oleh tanduk itu. Bersuamikan Raditya, aku seakan sebagai orang paling sial di dunia. Kini yang tersisa dari buku hidupku adalah lembaran penuh dengan tinta hitam dan merah, karena aku pernah menulisinya dengan rasa ingkar dan kebencian. Aku berharap bisa kembali menumbuhkan bunga di taman hatiku, meski dalam kesendirian.

Memang, aku juga pernah merasa sebagai orang yang paling beruntung di jagat raya, ketika aku dipersunting Adit, begitu biasanya aku memanggilnya. Bagaimana tidak, aku menutup masa lajangku ketika usiaku sudah menapak 32 tahun. Cukup lama aku menyandang predikat sebagai perawan tua. Meski demikian, aku mampu menyudahi masa lajangku dengan rasa bangga, baik itu pada teman maupun keluarga. Usia Adit jauh lebih muda dariku. Bisa dikatakan aku mendapatkan "daun muda", meski tidak bisa dikatakan brondong. Usianya saat itu 25 tahun. Jadi selisih kami 8 tahun. Namun, aku merasa saat itu Adit sudah cukup matang, sebagaimana lelaki di usianya. Yang membuatku sedikit bisa menepuk dada adalah ia memiliki kelebihan lain selain usianya yang lebih muda dariku, yaitu supel, sopan, tutur katanya halus, dan tentu saja tampan dan atletis.

Ketika kami bersanding di pelaminan, sungguh kami bisa diibaratkan sebagai Dewa Kamajaya dan Dewi Ratih. Meskipun usiaku sudah tak muda, di atas pelaminan, aku disulap menjadi belia. Banyak orang memuji kami sebagai pasangan serasi. Namun, kebanggaanku di pelaminan ternyata harus lekas kandas. Benih curiga dan konflik pun mulai terbuka. Itu sudah diawali mulai malam pertama. Sejak awal aku memang kurang terbuka pada Adit. Terutama soal riwayat seksualku. Sebenamya aku menikah dengan Adit dalam kondisi sudah tidak perawan. Aku sudah menyerahkannya pada seorang laki-laki yang aku percaya, tetapi ternyata dengan sangat tega mengkhianatiku.

Sejarah pacaranku memang panjang dan penuh dengan liku. Aku pacaran lima kali. Empat kali pacaran pertama aku lalui dengan pacaran yang wajar. Namun, karena para laki-lakiku maunya hanya pacaran karena masih ingusan, akhirnya aku putuskan mereka. Saat itu usiaku belum sampai 26 tahun. Pacaran kelima, aku jalin dengan Pras. Aku bertekad langsung ke jenjang serius. Sehingga hubungan kami pun menjurus ke hal-hal yang terlalu "serius". Ketika Pras mengajakku hubungan intim, aku pun melayaninya karena aku merasa bahwa kami akan segera menjadi suami-istri. Namun, ternyata harapanku tak sesuai kenyataan. Setelah berkali-kali berhubungan intim, bahkan aku sempat aborsi karena aku kedapatan hamil, ia pergi meninggalkanku. Padahal kami sudah berhubungan 2 tahun lebih. Kepergiannya menyisakan lobang luka di hatiku, yang sakitnya minta ampun. Aku trauma. Pada akhirnya aku menutup diri dari laki-laki.

Setelah hampir 4 tahun aku kunci hatiku, akhirnya aku pun membukakannya lagi pada seorang laki-laki yang dikenalkan oleh keluarga. Ia adalah Raditya. Sejak pandangan pertama, aku langsung cocok dengannya. Ia memenuhi kriteriaku. Tampang dan gayanya meluluhkan baja yang selama ini menjadi benteng hatiku. Oleh karena itu, aku ingin segera meresmikan hubungan, meski sebenarnya perkenalan kami belum sampai dua bulan. Aku yang menanggung semua keperluan resepsi karena secara ekonomi aku jauh lebih mapan dari Adit.

O iya, aku memang tak bercerita secara terbuka tentang kondisi tidak perawanku, karena aku sangat takut kehilangan dia. Dan, akhirnya itu adatah bumerang bagiku. Begitu usai malam pertama, ia langsung bisa menyimpulkan dengan tepat bahwa aku sudah tidak perawan. Aku langsung tergagap. Aku teringat ucapan seorang teman kantor, bila ada laki-laki yang bisa membedakan perawan dan tidak perawan pada saat intim, itu pertanda bahwa laki-laki itu adalah petualang seks, atau setidaknya pernah melakukan hubungan seks. Malam itu, aku tak langsung menyimpulkan predikat itu pada suamiku, meski setelah itu ternyata terbukti. Yah, Adit ternyata seorang petualang seks. Jika aku tidak perawan, Adit ternyata lebih parah. Rekornya dalam meniduri wanita luar biasa.

Malam itu, kami buka-bukaan. Aku bercerita tentang riwayat seksualku. la tampak paham, tetapi ternyata ia menyimpan dendam. la pun bercerita tentang riwayat seksnya yang membuatku hanya bisa melongo. Tak terbayangkan !

Pada hari-hari berikutnya, ia seperti berada di atas angin. Ia semakin tak menunjukkan rasa kasih dan hormatnya padaku. Ia mulai menunjukkan karakter aslinya. Terlebih ia semakin menuntut yang bukan-bukan. Itu tidak hanya dalam masalah seksual tetapi juga dalam masalah lainnya. Jika aku abaikan, aku dianggapnya egois. Dan, ia menuduhku bahwa orang yang lama hidup sendiri tanpa pasangan itu biasanya terjangkit egois. Aku tentu saja tak setuju. Dan, aku paling tidak suka jika ia berkata demikian. Aku kira jika memang tuntutannya sesuai dengan nalar dan karena cinta, tentu saja aku tak menolaknya. Tetapi tuntutannya lebih karena ia ingin mempermainkan aku. Setidaknya begitulah perasaanku.

Dalam hal seks, tuntutannya semakin tidak karuan. Ia minta aku main oral, padahal aku termasuk orang yang paling jijik soal itu. Bahkan, yang lebih parah, ia selalu saja memaksa main AC-DC (depan-belakang). Aku terpaksa menurutinya karena ingin dia tidak kecewa, meski setelah ngeseks, aku merasa tubuhku seperti habis disiksa. Aku tetap bertahan hidup dengannya dalam tahun pertama perkawinanku karena semata-mata aku memandang keluarga. Aku tak ingin menodai kebahagiaan mereka. Mereka sudah cukup tersiksa selama ini dengan posisiku. Tentu saja aku tak ingin merusak kelegaan mereka yang baru saja usai.

Memasuki tahun kedua, aku sudah tak tahan lagi. Tuntutannya semakin aneh. la minta dibelikan rumah sendiri. Dalam soal seks pun demikian. Aku diminta seperti pemain BF (blue film/film porno) yang akrobatik. Tuntutan pertama bisa ditunda dengan menggantikannya dengan barang lain, tetapi soal seks aku jadi jungkir-balik. Tetapi aku harus tetap munafik dengan memelihara keutuhan rumah tangga. Aku pun menemukan sebuah pemecahan yang sebenarnya bukan mengatasi masalah, tetapi memecahkan masalah dengan membuat masalah baru. Setiap kali ia ingin intim denganku, aku katakan padanya, agar dia ”jajan” saja di luar sehingga dia bisa sesukanya untuk memperlakukan wanita di atas ranjang. Aku juga katakan seharusnya ia bisa membedakan wanita di ranjang itu sebagai istri atau sebagai obyek seksualnya saja. Toh ia santai saja dan mengatakan setuju, tetapi dengan syarat aku yang membiayainya. Aku pun menyanggupinya, meski aku tahu itu adalah tindakan bodoh. Pada akhirnya, minimal seminggu sekali, ia ke prostitusi.

Hari-hariku pun penuh dengan cerita kebohongan. Sungguh, dalam batinku, aku menjerit sekeras-kerasnya. Kebahagiaan yang aku angankan pada awal menikah, begitu cepat menguap. Belum genap tahun ketiga, aku pun menuntut cerai padanya. Itu dipicu oleh sebuah peristiwa yang membuatku tertampar. Ia benar-benar sudah kelewatan. Pada suatu malam, ia membawa seorang pelacur ke rumah. Pekerja seks itu seorang banci. Kebetulan saat itu di rumah sedang ada kunjungan keluarga. Aku pun marah besar. Untunglah aku bisa menguasai diri.

Pengalaman hidupku telah mengajariku. Sejak itu, aku merasa harus kembali hidup sendiri. Akhirnya, aku pun melayangkan gugatan cerai. Yang lebih tak tahu malu, ia menuntut harta gono-gini, padahal saat ia mempersuntingku, ia hanya membawa "kelamin" saja. Sungguh, selama ini aku tak menyangka bahwa ada orang macam Raditya di dunia ini, dan ternyata itu ada bahkan dia menjadi suamiku. Ia tidak hanya memeloroti harta dan jiwaku, tetapi juga monster yang mencabik-cabik hidupku.

Jika aku ingat, aku merasa jadi orang yang paling terkutuk. Pada saat aku sendiri dan merenungi jalan hidupku, aku sempat juga introspeksi, sungguhkah segala yang menimpaku adalah karma dari masa laluku, atau jangan-jangan karena ketidakbecusanku dalam memilih laki-laki yang baik sebagai pendamping hidupku, atau bahkan kedua-duanya ? Yah, bagaimanapun juga aku memang yang keliru. Aku belum mengenal Raditya dengan sepenuhnya. Aku pun tidak terbuka padanya. Aku berharap masih ada hikmah di baliknya dan pada akhirnya aku bisa menemukan kebahagiaan, meski harus kutempuh dengan hidup sendiri. Jika memang itu karma, semoga itu adalah teguran setimpal bagiku dan aku berharap masih bisa melalui sisa hidupku ini dengan hati lapang tanpa dendam. Semoga doaku terkabul. Amiin. (Seperti dikisahkan Yati pada Roy Pujianto)R.26

Sumber : Majalah Fakta No. 564




No comments:

Post a Comment

Blog Archive